etalasekediri

Blog Wisata Budaya dan kuliner

Batik Go Green, Yangke Buat Batik Peduli Kesehatan

Author
Published Maret 28, 2024
Batik Go Green, Yangke Buat Batik Peduli Kesehatan

Bisnis kain dan pakaian batik memang kian menggeliat di Tanah Air. Bisnis pakaian yang penuh warna ini pun menarik perhatian seorang Yangke, pemilik usaha Prabu Batik. Akan tetapi, bisnisnya bukan sembarang batik biasa. Ia memproduksi batik indigo yakni batik dengan menggunakan pewarna alami dari tanaman indigofera tinctoria, atau lebih dikenal dengan sebutan tanaman nila.



Yangke yang pernah menjadi karyawan BMW-Astra International ini, sudah berjualan baju sejak tahun 2005. “Tapi itu asal ambil. Setelah itu mulai desain baju tahun 2006,” sebut Yangke, di sela-sela acara yang digelar oleh PKBL Pertamina, di Jakarta, pekan lalu.


Tak puas dengan berjualan baju jadi, ia pun menggandeng sejumlah perajin untuk membuat batik. Ini dilakukannya pada tahun 2008. Ada dua orang perajin yang direkrutnya dan sekarang bekerja di Bantul, Yogyakarta. Beberapa motif batik dibuatnya, salah satunya yakni motif dari Pacitan untuk yang menggunakan pewarna alam.


Lantas apa gerangan latar belakang ia membuat batik dengan pewarna alam? “Kenapa? Karena saya melihat dan mendengar pemerintah bahwa pewarna sintetis, seperti naphtol, itu pemicu kanker paling besar,” jawab Yangke.


Berangkat dari kepeduliannya tersebut, ia pun mulai memproduksi batik yang disebut dengan batik indigo. Batik ini disebut demikian karena menggunakan pewarna dari tanaman nila (indigofera tinctoria). Namun, ia tidak membeli pewarna ini, melainkan membuatnya sendiri.


Penanaman pohon nila pun dilakukan di daerah Bantul. Ia tidak bisa menyebutkan berapa luasan lahan tersebut. Yang jelas, kata Yangke, penanaman pohon ini tidak terlalu rumit. Perawatannya pun tidak sulit. Dalam penanaman pohon tersebut, ia bekerja sama dengan Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah setempat. Rencananya, ia akan memperluas penanaman ke daerah Subang, Jawa Barat. “Bekerja sama Kementerian Kehutanan. Ini untuk orientasi ekspor (batik indigo) ke Jepang, Korea sama Eropa,”


Menggunakan pewarna alami ini tidak dilakukan Yangke dengan sembarangan. Riset telah berjalan dari tahun 2008. Riset yang menggandeng sebuah universitas di Yogyakarta ini dimulai dari penanaman hingga ekstrak daun menjadi pewarna. “Seperti pewarna tahan lama nggak sih, warna alam ini bekerja seperti apa, kalau dicampur air sepekat apa warna nempel di bahan ini,” imbuh dia menerangkan seperti apa riset yang dilakukan.


Mengenai warna biru yang menjadi kekhasan dari batik indigo, ia mengatakan hal ini ditimbulkan oleh adanya bakteri. Aslinya, warna yang dihasilkan tanaman indigo adalah hijau. Namun, suatu bakteri mengubah warna hijau menjadi biru. Bentuk pewarna yang digunakannya pun bukan pasta, melainkan bubuk (powder).


“Satu lembar bahan memakan waktu (pengerjaan) 100 hari. Powder itu tidak bisa dibuat massal. Makan waktu lama karena penyerapan ke kain sulit sekali dibanding pasta. Cuaca juga berpengaruh. Selama tiga bulan paling produksi 30 lembar kain,” jelas Yangke.


Selain lamanya waktu pengerjaan, usaha batik ini pun terbilang memakan biaya yang tidak sedikit. Lantaran harga pewarna bentuk bubuk yang lebih mahal ketimbang bentuk pasta. Satu kilogram bubuk bisa mencapai Rp 900.000, sedangkan satu kilogram pasta seharga Rp 90.000. Dari satu kilogram pewarna indigo, Yangke tidak bisa menyebutkan berapa kain batik yang bisa dihasilkan. “Satu kilo itu tergantung mau buat seberapa biru dan seberapa banyak bakteri yang bekerja di air,” terang dia.


Ditegaskan dia, per lembar kain batik yang berukuran 2,2-3 meter, modal yang dibutuhkan bisa mencapai Rp 600.000. Sedangkan ia menjual kain dengan rentang harga Rp 750.000-Rp 900.000. Dengan kata lain, marjin yang diambil oleh usaha Prabu Batik tidak besar. Biaya memang menjadi sebuah kendala yang cukup besar dalam memproduksi batik indigo. Dan untungnya ia terbantu dengan keikutsertaannya menjadi mitra binaan BUMN, yakni Pertamina, pada tahun 2009. Ia mengatakan, “Market saya terbantu karena diikutkan berbagai macam event sama Pertamina di dalam negeri dan luar negeri.”


Sejumlah kesulitan yang ada tak lantas menciutkan usaha batik yang dijalankan Yangke bersama dengan suaminya. Buktinya? Sekarang Yangke telah mempunyai 8 perajin, di mana 40 persen dari usahanya adalah menjual batik indigo, yang lain adalah menjual songket dan tenun. Ekspor pun dilakukan, seperti ke Jepang dan Amerika Serikat. Ia yang pernah diajak oleh Pertamina untuk mengikuti sebuah kegiatan di Argentina ini sekarang mempunyai dua buah butik di kawasan Thamrin.


“Saya ingin ekspansi di luar Jawa, seperti di Kalimatan, Palembang, karena customer banyak ibu pejabat di daerah sana,” tandas dia mengenai rencana ke depan. (EVA)

Posting Komentar

[ADS] Bottom Ads

Copyright © 2024