Aturan Adat Suku Alas dalam Melindungi Alam
Di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas hidup berdampingan dengan 11 etnis lainnya. Walaupun memiliki keanekaragaman dari segi etnis dan agama, di tanah Alas tidak pernah terjadi konflik antar penduduk yang disebabkan oleh perbedaan tersebut. Inilah yang membuat wilayah perbukitan di daerah Aceh Tenggara terkesan damai dan asri heterogen.
Keheterogenan kehidupan di tanah Alas kemudian menjadi keunikan tersendiri yang dimiliki oleh Aceh Tenggara, membuat kehidupan setiap elemen masyarakatnya sangat berwarna dan bervariasi. Setiap unsur masyarakat yang berbeda kebudayaan saling berbaur dan saling mempengaruhi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Atas dasar etiologi kehadiran berbagai etnis di tanah Alas, jelaslah bahwa tidak ada satu orang pun yang dapat hidup berdiri sendiri, begitu juga dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten ini. Semua pihak perlu terlibat baik secara langsung maupun tidak. Keberagaman suku dan keyakinan akan menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakat di sana dalam membangun daerahnya.
Untuk memelihara keasrian alamnya, masyarakat Alas memeliki beberapa aturan adat dalam upaya penyelamatan sumber daya alam yang di kabupaten Aceh Tenggara. Aturan-aturan tersebut terbagi dalam beberapa definisi, berikut ini beberapa diantaranya:
Dheleng (hutan) sebagai kekayaan imum/kepala mukim bersama rakyatnya di Tanah Alas adalah hamparan wilayah kemukiman dengan panjang jauh ke dalam hutan ½ (setengah) hari perjalanan kaki atau hingga dhalan/pasakh mesosen, yang dimanfaatkan tidak merusak, agar aliran air sungai/pakhik jume tetap normal untuk pertanian/bersawah dan keperluan hidup rakyat.
Pencuri hasil hutan dan perusakannya (menebang kayu, pengambil rotan, dan produk non kayu tanpa sepengetahuan MAA kampung setempat dan tanpa izin dari imum/kepala mukim) dikenakan sanksi adat menyerahkan seluruh hasil curiannya ke kampung tempat terjadinya pelanggaran adat. Pelaku dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
Bagi pengebom, peracun, penyetrum, dan pemusnahan ikan jurung, ciih khemis, dan ciih situ dan jenis ikan lainnya di sepanjang sungai Lawe Alas, sungai-sungai kecil, dan irigasi desa, termasuk seluruh tali air di Tanah Alas dikenakan saksi adat ngateken kesalahen dan ikan tangkapan di luar ketentuan adat tersebut dikembalikan ke MAA setempat serta dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000) bagi si pelaku.
Seseorang yang mengambil ikan wilayah pinahan (lubuk larangan) dan sejenisnya tanpa izin masyarakat adat yang mengelola secara adat di Tanah Alas dikenakan Saksi ngateken kesalahen dan ikan tangkapan tersebut dikembalikan ke MAA kampung setempat untuk diserahkan kepadanya serta dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin ( Rp320.000-Rp3.200.000).
Orang yang mengambil, menangkap, atau berburu satwa pembohong dan sejenisnya tanpa izin MAA setempat, dikenakan Saksi adat ngateken kesalahen dan hasil buruan/penangkapannya tersebut dikembalikan ke MAA setempat untuk diserahkan atau dikembalikan ke habitatnya bila masih hidup, dan dikenakan denda tiga puluh dua penengah hingga mbelin (Rp320.000-Rp3.200.000).
Hukum adat (hukum adat) adalah bagian dari hukum, yaitu hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat yang biasanya bermata pencaharian pertanian di daerah pedesaan. Hukum adat terjadi dari keputusan-keputusan orang-orang yang berkuasa di pengadilan.
AW Wijaya dalam tulisannya yang berjudul “Manusia, Nilai Tradisional dan Lingkungan”, berperspektif bahwa hukum adat adalah norma lama yang masih terdapat dimana-mana di daerah dan di dalam masyarakat yang merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya, termasuk di daerah Suku Alas berada. Maka sudah seharusnya kita menghargai dan mematuhi hukum adat yang berlaku dimanapun kita tinggal, “di mana tanah dipijak di situ langit dijunjung.”
Posting Komentar
Posting Komentar